disadur dari bisnis.com
Penilaian Bank Dunia tentang membaiknya waktu inap barang atau dwelling time di Pelabuhan Tanjung Priok belum diikuti penurunan biaya logistik sontak membuat banyak kalangan terkejut.
Pelaku usaha di Tanjung Priok langsung bereaksi dan mempertanyakan metode dan ukuran yang digunakan Bank Dunia dalam memetakan persoalan biaya logistik di pelabuhan tersibuk di Indonesia itu.
“Kalau biaya logistik dibilang belum efisien meskipun saat ini dwelling time turun signifikan, maka jawabannya bisa iya bisa tidak. Dari mana kita melihat sudut pandangnya,” ujar Widijanto, Ketua Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) DKI Jakarta, Jumat (4/6).
Dia justru menilai masih buruknya infrastruktur pendukung logistik sebagai pemicu tingginya biaya logistik nasional di tengah penurunan dwelling time di Pelabuhan Tanjung Priok.
Selain itu, sering bermasalahnya sistem TI layanan kepabeanan ekspor impor atau CIESA yang terintegrasi dengan Indonesia National Single Window (INSW) juga berperan menaikkan biaya logistik.
Selama ini, perhitungan dwelling time berdasarkan komponen pre–clearance, custom clearance dan post clearance. Secara lebih jelasnya biaya dihitung sejak barang dibongkar dari kapal ke container yard hingga barang keluar terminal atau lini satu pelabuhan.
Padahal, imbuhnya, biaya logistik itu dihitung dari hulu hingga hilir atau end to end, yakni sejak kapal ditetapkan sandar di pelabuhan, kemudian di bongkar muat hingga keluar pelabuhan untuk dikirimkan ke gudang pemilik barang. Biaya itu juga belum memasukkan ongkos pengapalan (freight) dan ongkos angkut truk dari dan ke gudang.
ALFI telah memetakan ada tiga faktor yang berpengaruh tingginya biaya logistik kendatidwelling time Tanjung Priok sudah membaik.
Pertama, masih buruknya infastruktur jalur distribusi dari dan ke pelabuhan. Kondisi itu menjadi salah satu pemicu barang terlambat masuk pelabuhan untuk kegiatan ekspor sehingga terkena clossing Time. Selain itu terjadi demurage akibat barang impor bahan baku terlambat tiba di pabrik sehingga kegiatan produksi industri ikut terganggu.
“Hingga saat ini akses tol langsung dari dan ke pelabuhan Priok tidak selesai-selesai dan jalur arteri di bawahnya setiap hari mengalami kemacetan. Bagaimana mau efisien kalau kondisi begini terus dan sudah bertahun-tahun hal ini dialami pelaku usaha logistik,” tuturnya.
Faktor kedua, seringkali terjadinya kerusakan pada data centre Kementerian Keuangan yang menyebabkan gangguan pada costums-excise information system and automation (CIESA) yang terintegrasi dengan INSW. Layanan dokumen satu pintu ekspor impor itu melibatkan sejumlah kementerian dan lembaga (K/L). “Kondisi ini mengerek biaya logistik sebab barang tidak bisa di-delivery tepat waktu,” ujarnya.
Untuk faktor ketiga yakni perlunya mengubah paradigma BUMN pelabuhan kepada bisnis intinya yakni bongkar muat dan mengedepankan layanan publik bukan mengejar profit dan pendapatan dari penumpukan atau storage.
Oleh karena itu, ALFI mengusulkan Presiden Joko Widodo mengagendakan pembahasan soal hambatan logistik yang memicu lonjakan biaya kendati dwelling time di Priok sudah turun.
Sementara itu, Kepala Kantor Pelayanan Utama (KPU) Bea dan Cukai Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta Fajar Doni mengatakan dwelling time di Tanjung Priok per April 2016 sudah mencapai 3,69 hari. Perinciannya pre-clearance 1,89 hari, custom clearanace 0,38 hari dan post clearance1,42 hari.
“Pada komponen custom clearance saat ini sudah 0,38 hari dan angka tersebut sudah melampaui target Ditjen Bea dan Cukai yakni 0,5 hari,” ujarnya.
Sayangnya, Fajar tidak bersedia berkomentar tentang membaiknya dwelling time tidak mampu mendorong penurunan biaya logistik. Dia beralasan soal biaya logistik bukan wilayah Bea dan Cukai tetapi melibatkan K/L.
“Tetapi instansi kami tetap fokus pada percepatan pelayanan dokumen dan terus mendorong agar importir segera mengeluarkan barangnya dari pelabuhan,” ujarnya.
KEMAJUAN
Data KPU Bea dan Cukai Tanjung Priok Jakarta mencatat karakteristik importasi di Tanjung Priok terus mengalami kemajuan karena 48% importir kini menyelesaikan dokumen importasinya sebelum tiga hari.
Untuk menjaga kelancaran arus barang di Tanjung Priok, Fajar mengimplementasikan Peraturan Menteri Keuangan No. 225/PMK.04/2015 dan Perdirjen Bea Cukai No. 12/BC/2016 tentang Pemeriksaan Fisik Barang Impor.
Kedua beleid itu mewajibkan importir atau perusahaan pengurusan jasa kepabeanan (PPJK) menyampaikan Pemberitahuan Kesiapan Barang (PKB) impor untuk diperiksa kepada pejabat Bea dan Cukai paling lambat pukul 12.00 WIB pada hari kerja berikutnya sejak diterbitkannya surat pemberitahuan barang kategori jalur merah (SPJM).
Bila importir atau PPJK tidak menyampaikan PKB impor untuk diperiksa kepada Bea dan Cukai sesuai dengan waktu yang ditentukan, imbuhnya, pemeriksaan fisik dilakukan dengan disaksikan petugas dari TPS yang bertindak sebagai kuasa importir atas risiko dan biaya importir.
“Pemeriksaan fisik wajib dilaksanakan paling lambat satu jam setelah importir atau PPJK menyampaikan pemberitahuan kesiapan barang impor untuk diperiksa kepada pejabat Bea dan Cukai Priok,” tegasnya.
Sekjen BPP Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) Achmad Ridwan Tento mengatakan penilaian Bank Dunia perlu dikaji lebih mendalam terkait membaiknya dwelling time tidak dibarengi penurunan biaya logistik.
“Jangan dipukul rata sebab karakteristik importasi di Priok itu berbeda-beda ada yang deliverylangsung ke gudang/pabrik tetapi ada juga yang angkut lanjut distribusi ke daerah-daerah lainnya sehingga biaya logistiknya juga tidak sama,” ujarnya.
Dia mengusulkan Bank Dunia melibatkan asosiasi pelaku usaha terkait untuk memperoleh masukan yang lebih tepat sebelum merilis persoalan dwelling time dan efisiensi biaya logistik.
Sudah saatnya membuktikan penurunan dwelling time di Tanjung Priok yang berarti barang cepat datang dan langsung dimanfaatkan pelaku industri juga menurunkan biaya logistik.
sumber: http://koran.bisnis.com/read/20160607/450/555143/bila-waktu-inap-terus-dipersingkat