disadur dari Bisnis.com, JAKARTA – Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan optimistis importir borongan tidak akan lolos sebagai pengelola fasilitas pusat logistik berikat.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Heru Pambudi menyatakan sejumlah regulasi yang sudah diatur pemerintah diyakini tidak memberi celah bagi penyalahgunaan pusat logistik berikat (PLB) oleh importir borongan.
“PLB itu untuk logistik center yang mengisi bahan baku dan barang modal, tidak untuk menimbun baju atau consumtion product lain. Dari sisi komoditas saja sudah selektif,” kata Heru kepadaBisnis.com, Kamis (2/6/2016).
Heru menyebut persyaratan lain yang tidak memungkinkan importir borongan terlibat adalah proses verifikasi fisik dan administratif. Pasalnya, kalau mau memastikan perusahaan layak menjadi PLB maka syaratnya sangat banyak dan harus sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 272/2015 tentang Pusat Logistik Berikat. Proses tersebut disebut Heru membuat barang tidak akan keluar atau masuk dengan mudah.
“Kami juga secara fisik ada pengawas di lapangan. Saat ini sudah ada 11 PLN dari tahap I, salah satunya misal CKB. Nanti selanjutnya masih ada 16 lagi untuk tahap II yang masih dalam proses,” terangnya.
Heru memastikan dengan beban pajak maka para pelaku importir barang tidak mungkin dengan mudah melakukan aksi pemborongan bahan baku.
Sementara itu Kepala Subdit Tempat Penimbunan Berikat (TPB) sebelum menjadi pengelola PLB, Tatang mengatakan importir borongan adalah definusi bagi pelaku importir yang melakukan transaksi barang dengan eksportir asal luar negeri.
Namun saat ini aturan yang tertuang dalam PP No.85/2015 tentang Pusat Logistik Berikat menyebut bahwa baik importir dan eksportir harus berasal dari dalam negeri. Tujuannya agar keduanya bisa diaudit dua arah dan terus dikontrol oleh pemerintah.
“Kalau importir borongan kan punya eksportir di luar negeri, sehingga kami tidak bisa audit. Tetapi PLB ini mensyaratkan pemilik barang di dalam negeri, importir di dalam negeri, sehingga terkontrol bisa di audit keduanya, maka optimistis tidak akan ada importir borongan,” tegasnya.
Tata menegaskan bahwa importir itu harus terdaftar di bea dan cukai. Oleh sebab itu, pihaknya juga melakukan evaluasi kinerja PLB secara berkala setiap bulan dan tahun. “Evaluasi kami buat bersama Asosiasi Pusat Logistik Berikat Indonesia,” jelas Tatang.
Rencananya, hasil evaluasi PLB tahap satu untuk kinerja pada bulan Mei akan diselenggarakan awal pekan depan.
Saat ini PLB sudah membantu menurunkan dwelling time, kata Tatang. Pasalnya, beberapa perusahaan sudah bisa melakukan menerima pelayanan custom clearance hanya satu sampai dua hari.
Tatang menyatakan setiap perusahaan yang awalnya adalah tempat penimbunan sementara (TPS) atau gudang berikat (GB) juga bisa menjadi PLB asalkan melakukan presentasi lebih detail terkait bisnis perusahaan.
“Perlu dijelaskan lebih lanjut terkait proses bisnis perusahaannya, sehingga bisa diketahui fasilitas apa yang cocok untuk perusahaan karena visi PLB ini menjadi hub nasional dan Asia Pasifik. Intinya perusahaan TPS atau GB selama memenuhi syarat bisa menjadi PLB,” ungkapnya.
Untuk mengurus perubahan status dari TPS menjadi PLB, perusahaan tetap harus mengikiuti prosedur administrative yang menurutnya sangat mudah. Dia juga menegaskan PLB adalah salah satu solusi memotong rantai logistik yang selama ini membebani biaya logistik di Indonesia.
“DJBC akan selalu mengkaji sektor bisnis yang ditawarkan PLB, apakah spesifikasi bisnisnya akan memberikan pendapatan yang besar dan menguntungkan negara?,” terangnya.
Sepanjang 2011-2016 menurut data DJBC per Mei 2016 total TPS di seluruh Indonesia berjumlah 1711 yang terdiri dari; 1405 kawasan berikat (KB), 260 gudang berikat (GB), 27 toko bebas bea (TBB), 7 Tempat Penyelenggaraan Pameran Berikat (TPPB), dan 12 pusat logistik berikat (PLB).
sumber: http://finansial.bisnis.com/read/20160602/10/553890/djbc-yakin-importir-borongan-tak-lolos-verifikasi