Site icon arthanugraha.com

Refleksi Pendidikan Jaman Now

Hari ini adalah hari dimana negara Indonesia memperingati sebagai hari pendidikan nasional. Diambil dari hari kelahiran Ki Hadjar Dewantara, salah seorang pelopor pendidikan nasional di Indonesia.

sumber: upload.wikimedia.org

Ki Hadjar Dewantara, lahir 2 mei 1889 merupakan pendiri perguruan Taman Siswa di Yogyakarta dan merupakan  menteri pengajaran Indonesia yang pertama. Atas jasa-jasanya pada dunia pendidikan Indonesia maka melalui Surat Keputusan Presiden RI no. 305 tahun 1959, tanggal 28 November 1959, Ki Hadjar Dewantara dijadikan sebagai pahlawan nasional dan di setiap tanggal kelahirannya pada 2 mei diperingati sebagai hari pendidikan nasional.

Tentu hari ini kita tidak bermaksud merayakan hari ulang tahun Ki Hadjar Dewantara semata, tetapi berusaha melakukan refleksi dan kilas balik terhadap sistem pendidikan nasional kita.

Di dalam sistem pendidikan nasional saat ini, telah dibuat sedemikan rupa dengan tujuan agar setiap rakyat Indonesia mendapatkan pendidikan dengan materi dasar agar rakyat Indonesia memiliki pengetahuan dan keterampilan dengan berbagai tingkatan supaya dapat menjalani kehidupannya. Oleh sebab itu negara merancang sistem pendidikan nasional ke dalam dua lembaga yaitu pendidikan formal dan pendidikan non formal.

sumber: wawasanpendidikan.com

Meski esensi dari pendidikan sendiri sebenarnya tidaklah terbatas pada bentuk-bentuk organisasi pendidikannya, tetapi dengan bentuk tersebut maka akan membantu negara memiliki sistem pendidikan yang lebih terstruktur dan sistematis. Dengan bentukan demikian, kepercayaan masyarakat pada organisasi pendidikan terutama pendidikan formal sangatlah tinggi. Hal ini disebabkan adanya dukungan pemerintah yang tinggi dengan berbagai kebijakan pendukung serta adanya dukungan anggaran  yang disyaratkan pada undang-undang yang berlaku. Pendidikan formal juga dipercaya memiliki pondasi kompetensi yang jelas dengan direfleksikan pada standarisasi nilai untuk kelulusan serta adanya ijasah yang didapat oleh lulusannya.

Sayangnya standarisasi tersebut tidaklah cukup. Masih ada hal lain yang oleh masyarakat dianggap perlu, yaitu serapan lulusan pada lapangan pekerjaan. Hasilnya memang sangat mencengangkan. Menurut data statistik BPS pada agustus 2017, dikatakan bahwa ada 7 jutaan penduduk Indonesia terdidik yang menganggur. Banyak lulusan yang tidak mampu terserap oleh dunia kerja. Jika berbicara tingkatan pendidikan, bahkan untuk lulusan tingkat pendidikan tinggi juga masih harus berjibaku mendapatkan lapangan pekerjaan.

Jika diulas lebih lanjut, ada beberapa hal yang bisa diungkap mengapa masih banyak lulusan yang tidak terserap oleh lapangan pekerjaan. Yang pertama adalah kompetensi yang tidak sesuai dengan kebutuhan dunia industri. Yang kedua adalah jumlah ketersediaan lapangan pekerjaan yang tidak sebanyak jumlah lulusan. Kedua alasan inilah yang menjadi perbincangan mendasar jika berdialektika mengenai sistem pendidikan.

Pada alasan pertama, sistem pendidikan nasional khususnya pada pendidikan formal berusaha mendekatkan dirinya dengan kebutuhan kompetensi industri. Sedangkan pada alasan yang kedua adalah dengan memberikan keahlian baru bagi lulusan untuk berwirausaha. Namun lagi-lagi hali ini malah membuat sistem pendidikan nasional malah bergeser dari esensinya. Sistem pendidikan nasional tidak lagi bertujuan memberikan pencerahan pada peserta didiknya akan tetapi malah bergeser untuk menciptakan pekerja yang siap pakai.

sumber: 123rf.com

Jika kita mengacu pada tren belakangan terakhir, ada beberapa perusahaan yang bahkan tidak menggunakan ijasah sebagai syarat seleksi. Memang hal ini baru bisa kita temukan pada perusahaan-perusahaan berbasis teknologi informasia, akan tetapi tidak menutup kemungkinan hal ini akan diadopsi oleh perusahaan lainnya. Tentu hal ini sejalan dengan keinginan dari industri yang lebih menekankan pada kompetensi keahlian daripada selembar ijasah.

Jadi bagaimana seharusnya mengelola sistem pendidikan nasional saat ini? Harus kita sadari bahwa pengaruh globalisasi sangat kuat begitupun dengan di negara kita. Pola sistem pendidikan yang lampau atau kuno dengan mengejar pada adanya peringkat di kelas, memberikan label nilai sudah harus ditinggalkan. Kita harus sadari bahwa setiap anak tidak bisa dianggap sama dan diberikan standarisasi yang sama. Jika tetap mengacu pada hal ini, tidaklah heran kita masih melihat banyak anak yang melakukan berbagai cara agar bisa lulus ujian. Mari kita berpikir jernih, bahwa apa yang diterima oleh peserta didik adalah berguna untuk lima hingga sepuluh tahun lagi, maka orientasi pendidikan seharusnya mengacu ke masa depan bukan pada saat ini. Selain itu setiap peserta didik diharapkan dipancing kreatifitas dan kritis pada setiap proses yang dijalani, dan bukan hanya diberikan ujian akhir dengan standarisasi yang sama.

Exit mobile version