Perdebatan mengenai status yang disampaikan oleh Tere Liye di media sosial Facebook mengenai sejarah perjuangan komunisme di Indonesia menuai perdebatan yang amat panjang. Bahkan ketika penulis novel inipun menyampaikan klarifikasinya, ternyata malah menimbulkan perdebatan baru. Entah siapa yang harus disalahkan mengenai sesat berpikir. Debat ini seperti orang buta dengan orang buta berdebat mengenai gajah yang ada di depan mereka.
Bermula tentu saja dari perspektif. Sebagai sarjana lulusan Ekonomi dari Universitas Indonesia, Tere Liye atau Darwis tentu pernah mendapatkan teori dari Karl Marx yang katanya bapak komunisme, eits… ini juga akan menimbulkan perdebatan bagaimana Karl Marx dengan pemikirannya tiba-tiba memberikan ide untuk membentuk sebuah idealisme baru, meski banyak ajaran agama sebenarnya juga berawal dari pemikiran penguatan masyarakat komunal, alias komunis.
ya sudahlah, komunisme di Indonesia sudah terlanjur dicap sebagai sebuah paham yang kejam, tukang bunuh, tukang silet, para wanitanya suka minum darah, yahhh setidaknya itu yang ada di film G30SPKI.
Mungkin Tere Liye juga mengikuti pola pikir ini. Mungkin juga ada saudara, kerabatnya dulu dibunuh dengan kejam oleh anggota PKI, sehingga begitu bencinya terhadap ideologi ini.
Yang jadi aneh adalah tiba-tiba Tere Liye ini bergaya Jonru banget, hahaha… Tiba-tiba mengungkapkan sesuatu dan mengembalikan persepsi sesuatu itu kepada masyarakat yang membacanya. Sayang sekali.
Sebagai penulis novel yang terkenal, buah karya tulisan Tere Liye bisa dianggap sebagai hasil budaya, karena merupakan hasil cipta rasa dan gagasan, serta diterima oleh khalayak banyak.. Pengungkapan sesuatu yang menurut saya tidak tepat jika Tere Liye terjebak pada gagasan yang jauh dari cerita mengenai sebuah perang ideologi politik. Tere Liye terjebak pada pusaran perdebatan yang tidak pernah kunjung habis. Sayang sekali jika gagasan yang disampaikan tiba-tiba jauh dari tema yang selalu diusung olehnya.