Catatan industri manufaktur Indonesia di akhir tahun 2016 ternyata tidak cukup menunjukkan angka yang signifikan. Sumbangsihnya hanya 19.9% dari Product Domestics Bruto (PDB), padahal di tahun 2015 sektor manufaktur bisa menyumbang hingga 21.18% persen dari PDB. Angka ini cukup membuat miris. Di tengah pertumbuhan ekonomi yang masih tidak menjanjikan, ternyata juga berpengaruh terhadap industri manufaktur. Padahal, jika melihat angka konsumsi penduduk Indonesia justru semakin meningkat.
Menurut saya justru ini menjadi kesulitan bagi Indonesia. Ditambah lagi komponen di dalam roda industri semakin tidak kompetitif, misalnya saja kenaikan upah yang berdasarkan pada nilai kelayakan hidup. Menurut saya tidak fair jika membebankan semua komponen di dalam nilai kelayakan hidup pada satu sumber yaitu upah minimum. Sementara kenaikan angka konsumsi hanya semu saja, karena yang dikonsumsi adalah produk-produk import. Di sisi lain, tingkat upah di kawasan negara Asean khususnya tidak beragam. Hal ini juga menjadi pertimbangan bagi investor untuk memindah usahanya di tempat yang mempunyai upah yang lebih murah dan tidak terlalu ribet dengan regulasi, dan Indonesia hanya dijadikan sebagai pasar untuk menjual berbagai produk dikarenakan potensi dari sisi jumlah penduduk yang begitu besar.
Oleh sebab itu, sebaiknya kita harus bijak melihat mengenai kebijakan upah minimum dengan tidak membebankan semua komponen hidup layak di komponen upah, dan pemerintah mengeluarkan kebijakan yang mendukung, semisal kebijakan pendidikan gratis, kesehatan gratis, pengelolaan angkutan umum, perumahan untuk rakyat dan mengawasi kebijakan tersebut agar benar-benar tepat sasaran. Dengan demikian dapat membantu agar tidak dibebankan kepada komponen upah.
Di sisi lain, sebagai masyarakat Indonesia hendaknya mengutamakan konsumsi pada produk yang diproduksi oleh dalam negeri. Yang paling mudah adalah memastikan bahwa produk yang kita konsumsi adalah produk yang berlabel buatan Indonesia.