ssnet| Kondisi bisnis ritel meski belum tutup tahun 2006, tidak lebih baik dibanding 2005. Kondisinya stagnant, yang disebabkan daya beli masyarakat sampai sekarang juga tidak kunjung naik.
Ini disampaikan TUTUM RAHANTA Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) di sela-sela pelantikan pengurus DPD Aprindo Jatim di Hotel Santika, Selasa (12/12).
Pada suarasurabaya.net, TUTUM mengatakan, kalau akhir tahun 2006 bisnis ritel stagnant, maka di tahun 2007 kondisinya tambah suram. Berikut penjelasan TUTUM, .
Bisnis ritel merupakan ujung tombak industri ke konsumen akhir. Para peritel, kata TUTUM, berharap terjadi perbaikan di sektor makro ekonomi karena dengan membaiknya makro ekonomi, daya beli masyarakat ikut terdongkrak. Kalau peritel membukukan keuntungan 1%-2% saja dalam situasi seperti ini sudah cukup bagus.
Menurut TUTUM, kondisi stagnant di bisnis ritel ini menyebabkan ada beberapa perusahaan yang go public rapornya merah. Ini menunjukkan perusahaan tersebut tidak berhasil mencapai targetnya pada tahun-tahun lalu, meski ada peningkatan penjualan.
Aprindo sendiri menargetkan omset dari 83 perusahaan yang menjadi anggotanya sampai akhir 2006 sekitar Rp 50 triliun. Setiap tahun target ditetapkan ada kenaikan 10%-15% dengan perhitungan kenaikan upah tenaga kerja yang mengikuti terjadinya inflasi, kenaikan listrik dan BBM dimana komposisinya di kisaran 10%-15%.
“Jika kenaikan target tidak sampai 10%-15%, peritel akan tekor. Jumlah outlet dari 83 anggota Aprindo memiliki 5500 outlet. Dari 83 anggota sekitar 80% adalah peritel murni lokal, sisanya lokal tapi sahamnya sebagian dikuasai asing. Sedangkan yang murni peritel asing hanya Carrefour,â€tukasnya.