Akhirnya pengadilan Peninjauan Kembali MA yang diketuai oleh Bagir Manan menjatuhkan hukuman 20 tahun penjara atas Polycarpus dengan keputusan “Bersalah atas pembunuhan berencana dan pemalsuan suratâ€. Yah, keputusan ini cukup menggembirakan, mengingat sebelumnya MA menjatuhkan keputusan bebas kepada Polycarpus.
Perjalanan kematian Munir memang begitu panjang, seakan-akan menyiratkan jalan perjuangan Munir membela Hak Asasi Manusia. Saya mengenal Munir ketika tahun 2000. Di saat itu saya berangkat ke Jakarta untuk mengikuti Penyusunan Format Aksi dan Pelayanan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) sebagai wakil dari GMKI cabang Surabaya. Setelah selesai penyusunan Format Akspel tersebut, kami berniat untuk menyuarakan hasil penyusunan Akspel tersebut ke DPR RI yang sangat kebetulan Forum Komunikasi Pemuda Indonesia (FKPI) juga akan melakukan hearing ke DPR RI. Karena itulah GMKI mencoba nunut agenda tersebut. Nah, sangat kebetulan kantor Kontras berada dekat dengan sekretariat Pengurus Pusat GMKI di Salemba, saya mencoba mengunjungi kantor Kontras dan bertemu dengan saudara Munir di sana.
Ah, ketika Munir dikabarkan meninggal dalam perjalanan ke Belanda, di mana ia akan melanjutkan sekolah S2 nya disana, saya Cuma mengira Munir meninggal karena sakit Lever, karena biasanya aktivis meninggal karena penyakit tersebut, hehehe ini asumsi konyol saya waktu itu. Ternyata kejadian itu terkuak ketika badan otopsi Belanda menyatakan bahwa kematian Munir disebabkan karena racun Arsenik.
Jujur saya mendengar racun arsenik itu di film James Bond. Dan memang agen rahasia banyak yang memakai racun ini karena korban hanya nampak seperti terkena serangan jantung saja [ahhh, ini asumsi saya lagi karena kebanyakan nonton James Bond]. Dan ternyata kawan Munir meninggal karena racun favorit para agen rahasia itu.
Dan, akhirnya setelah tiga tahun kematian misterius Munir, mulai terkuak sedikit demi sedikit kebenaran itu. Dan yang paling menjengkelkan adalah bagaimana Polycarpus menyangkal itu semua, meski istri Munir sendiri lebih menyukai bukan Munir saja yang diseret di pengadilan, tetapi dalang dari itu semua.
Memang jika melihat dari kesaksian Budi Santoso, salah satu anggota BIN yang menjadi saksi yang tercatat dalam BAP, dikatakan bahwa Polycarpus beberapa kali datang ke kantor BIN, bahkan Budi Santoso sendiri juga melihat draft surat penugasan Polycarpus. Sayangnya Budi Santoso bagai hilang di telan bumi dan tak bisa dihadirkan di pengadilan.
Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah hukum di Indonesia juga bisa menghadirkan pejabat BIN yang kemungkinan terlibat dalam pembunuhan Munir untuk mendengar motif dibalik pembunuhan Munir? Semoga saja bisa, karena dengan demikian Indonesia akan menjadi selangkah lebih maju dalam penegakan HAM.